Wae Rebo, sepotong surga yang bisa kita temui di pedalaman NTT. tak disangka memang keindahannya.. Pada kesempatan kali Nabilla akan membagikan artikel milik kak Fendy Surya Saeputra di Jawa Pos Bagian My Journey..
Nusa Tenggara Timur, terutara Flores, akhir-akhir ini ngehit sebagai surga para pecinta travelling. Berbagai post menggiurkan di media sosial memancing Fandy Surya Saeputra melakukan trip ke sana.
KEINDAHAN pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur memang mudah memikat siapa saja. Saya bertiga dengan teman-teman sekantor yang tergila-gila dengan travelling memutuskan untuk pergi ke sana Mei lalu. Apalagi, Flores sedang naik daun, seiring dengan makin mudahnya akses ke sana, sehingga para traveller juga makin gencar mengunggahfoto-foto cantik ke media sosial.
Sebenarnya banyak destinasi yang sangat menantang di Flores. Mulai Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau padar, Danau Kelimutu, Bajawa, hingga desa adat di atas gunung Manggarai, Wae Rebo. Nama terakhirlah yan menurut kami menjadi destinasi paling berkesan dan paling sulit dicapai. Sesuai pepatah, surga tidak diciptakan untuk dicapai dengan mudah.
Di desa itu terdapat tujuh rumah adat berbentuk kerucut. Mbaru Niang namanya. Desa itu sebenarnya terbentuk karena para tetua adat sedang menghindari serbuan tentara Jepang pada zaman penjajahan dahulu. Mereka membangun tempat tinggal dan menetap dengan tujuh bangunan berbentuk kerucut berdiameter 11-15 meter dengan penghangat alami di dalamnya.
Tidak mudah mencapai Wae Rebo. Eh, saya tidak bermaksud meruntuhkan semangat teman-teman yang ingin pergi ke sana lho. Tetapi, traveller harus menyiapkan mental cadangan. Selain biayanya relatif mahal, jalur untuk ke sana benar-benar menguras tenaga dan perasaan. Ceileh...
Ada banyak cara menuju ke sana. Pertama, naik angkutan umum dari Labuan Bajo ke Riteng dan dilanjutkan dengan angkutan umum semacam truk, tetapi dengan kursi di bagian belakang. Tapi, kalau enggan repot, bisa memakai cara kami. yakni, menggunakan jasa travel yang banyak tersedia di Labuan Bajo.
Selam tujuh jam perjalanan dari Labuan Bajo menggunakan mobil, tiga jam pertama mirip dengan jalur dari Surabaya ke Gunung Bromo. Menanjak plus bumpy. Empat jam sisanya, lebih parah. Dengan jalur yang lebih parah. Dengan jalur yang lebih sempit hanya cukup untuk cukup untuk satu mobil plus alang-alang ynag menjorok ke jalan.
Oya, di sini kita harus siap jadi fakir seluler. Hanya salah satu provider yang bisa menerima sinyal. Itu pun tersendat-sendat. Jadi, kalau ingin mengirim pesan sebelum sinyal hilang, lakukan di desa terakhir sebelum ke Wae Rebo. Yakni, Desa Dintor.
Turun dari mobil, bukan berarti tadaaaa.. sudah sampai. Masih jauh. Kita harus tracking selam kurang lebih dua jam dari pos pertama. Lamanya tracking bergantung kondisi fisik kita. Setelah berjalan kaki mendaki bebukitan, sampailah kami ke desa adat Wae Rebo. Terbayar lunaslah semua perjuangan menuju ke sana. Indahnya..... juara!
Seperti banyak orang bilang, Desa Wae Rebo ibarat potongan surga yang terjatuh Bumi. Cantik sekali. Tidak salah Wae Rebo dinobatkan menjadi situs warisan budaya UNESCO pada 2012 lalu. Penduduknya pun ramah, tersenyum, dan menyapa kita duluan.
Lalu, ngapain kita di sana? Ada dua opsi. Langsung turun ke desa atau menginap bersama tamu yang lain. Jangan khawatir soal tempat menginap. KArena ingin merasakan pengalaman menginap di salah satu bangunan adat tersebut, kami memutuskan menginap agar bisa merasakan keramahtamahan penduudkan Wae Rebo. itu merupakan pengalaman terbaik aya bersama para sahabat.
Aah... Flores, I'm in love. (*/c17/na)
Lelah Terbayar Indahnya Desa Adat
KEINDAHAN pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur memang mudah memikat siapa saja. Saya bertiga dengan teman-teman sekantor yang tergila-gila dengan travelling memutuskan untuk pergi ke sana Mei lalu. Apalagi, Flores sedang naik daun, seiring dengan makin mudahnya akses ke sana, sehingga para traveller juga makin gencar mengunggahfoto-foto cantik ke media sosial.
Sebenarnya banyak destinasi yang sangat menantang di Flores. Mulai Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau padar, Danau Kelimutu, Bajawa, hingga desa adat di atas gunung Manggarai, Wae Rebo. Nama terakhirlah yan menurut kami menjadi destinasi paling berkesan dan paling sulit dicapai. Sesuai pepatah, surga tidak diciptakan untuk dicapai dengan mudah.
Di desa itu terdapat tujuh rumah adat berbentuk kerucut. Mbaru Niang namanya. Desa itu sebenarnya terbentuk karena para tetua adat sedang menghindari serbuan tentara Jepang pada zaman penjajahan dahulu. Mereka membangun tempat tinggal dan menetap dengan tujuh bangunan berbentuk kerucut berdiameter 11-15 meter dengan penghangat alami di dalamnya.
Tidak mudah mencapai Wae Rebo. Eh, saya tidak bermaksud meruntuhkan semangat teman-teman yang ingin pergi ke sana lho. Tetapi, traveller harus menyiapkan mental cadangan. Selain biayanya relatif mahal, jalur untuk ke sana benar-benar menguras tenaga dan perasaan. Ceileh...
Ada banyak cara menuju ke sana. Pertama, naik angkutan umum dari Labuan Bajo ke Riteng dan dilanjutkan dengan angkutan umum semacam truk, tetapi dengan kursi di bagian belakang. Tapi, kalau enggan repot, bisa memakai cara kami. yakni, menggunakan jasa travel yang banyak tersedia di Labuan Bajo.
Selam tujuh jam perjalanan dari Labuan Bajo menggunakan mobil, tiga jam pertama mirip dengan jalur dari Surabaya ke Gunung Bromo. Menanjak plus bumpy. Empat jam sisanya, lebih parah. Dengan jalur yang lebih parah. Dengan jalur yang lebih sempit hanya cukup untuk cukup untuk satu mobil plus alang-alang ynag menjorok ke jalan.
Oya, di sini kita harus siap jadi fakir seluler. Hanya salah satu provider yang bisa menerima sinyal. Itu pun tersendat-sendat. Jadi, kalau ingin mengirim pesan sebelum sinyal hilang, lakukan di desa terakhir sebelum ke Wae Rebo. Yakni, Desa Dintor.
Turun dari mobil, bukan berarti tadaaaa.. sudah sampai. Masih jauh. Kita harus tracking selam kurang lebih dua jam dari pos pertama. Lamanya tracking bergantung kondisi fisik kita. Setelah berjalan kaki mendaki bebukitan, sampailah kami ke desa adat Wae Rebo. Terbayar lunaslah semua perjuangan menuju ke sana. Indahnya..... juara!
Seperti banyak orang bilang, Desa Wae Rebo ibarat potongan surga yang terjatuh Bumi. Cantik sekali. Tidak salah Wae Rebo dinobatkan menjadi situs warisan budaya UNESCO pada 2012 lalu. Penduduknya pun ramah, tersenyum, dan menyapa kita duluan.
Lalu, ngapain kita di sana? Ada dua opsi. Langsung turun ke desa atau menginap bersama tamu yang lain. Jangan khawatir soal tempat menginap. KArena ingin merasakan pengalaman menginap di salah satu bangunan adat tersebut, kami memutuskan menginap agar bisa merasakan keramahtamahan penduudkan Wae Rebo. itu merupakan pengalaman terbaik aya bersama para sahabat.
Aah... Flores, I'm in love. (*/c17/na)
Komentar
Posting Komentar